Jumat, 13 Mei 2022

Sebuah Tanggapan Kritis atas Pandangan Paus Fransiskus Tentang Eksploitasi Bumi Sebagai Ibu Pertiwi


 (Wilfridus Tali Talan)
                                                       
        Dewasa ini realitas kehidupan manusia sungguh memprihatinkan. Di seluruh penjuru dunia tercipta pelbagai masalah kehidupan yang mengancam kelangsungan hidup manusia. Misalnya, terjadinya bencana alam: gempa bumi, banjir, dan badai. Atau terjadinya peperangan, kelaparan, kekerasan, terorisme, ketidakadilan, kemiskinan hingga tindakan pengrusakan bumi sebagai ibu pertiwi. Masalah-masalah ini menyebabkan manusia kehilangan identitas di mana hubungan antara manusia dengan sesamanya menjadi asing bahkan rasa persaudaraan hilang dan muncul sikap saling bermusuhan. 
            Dari semua permasalahan yang muncul di atas pada era dewasa ini, salah satu masalah pokok yang menurut hemat penulis sungguh mengganggu kedamaian dunia adalah “keserakahan manusia untuk menjarah bumi sebagai ibu pertiwi” dan hal ini dikritik pula oleh Paus Fransiskus dalam film “Pope Francis: a Man of His Word”. 
            Dalam film “Pope Francis: a Man of His Word”, Paus Fransiskus berpendapat dan sekaligus mengkritik bahwa situasi dunia saat ini tidak aman. Muncul masalah petani tanpa sawah, banyak keluarga tanpa rumah, banyak pekerja tanpa hak, banyak orang yang martabatnya diinjak, terjadi ketimpangan ekonomi dan ketidaksetaraan serta kemiskinan. Semua permasalahan ini muncul akibat dari keserakahan manusia menjarah bumi sebagai ibu pertiwi dan manusia menyalahgunakannya.        Mencermati kritik Paus Fransiskus tentang keserakahan manusia menjarah bumi dan menyelahgunakannya, penulis pun mengaminkan kebenaran dari pendapat dan kritik Paus Fransiskus tersebut. Penulis menyadari bahwa segala permasalahan yang muncul dewasa ini teristimewa permasalahan tentang ekploitasi alam ciptaan atau bumi terjadi karena kerakusan, keserakahan manusia untuk menjarah segala isi bumi. Dari sebab pokok ini, penulis akhirnya menyadari bahwa sesungguhnya ada dua sebab kunci yang ada dalam diri manusia dewasa ini yang telah dilakukan sebagai sebuah pelanggaran besar. 
            Pertama, ketidakmampuan manusia membaca nilai dan arti Sang Pencipta menciptakan bumi. Kalau melihat kisah penciptaan bumi dan segala isinya, sesungguhnya semua tercipta dengan baik. Dalam Kejadian 1:31, tertulis dengan jelas “segala yang diciptakan-Nya, sungguh amat baik.” Di sini dapat dilihat dengan jelas bahwa Sang Pencipta mencipta dengan sempurna, namun manusia tidak sanggup membaca nilai dan arti yang terkandung di dalamnya. Hanya karena adanya keserakahan manusia untuk mengambil segala-galanya, nilai dan arti dilupakan. Alam ciptaan dieksploitasi secara tak bertanggungjawab. Perlu diketahui bahwa dunia berasal dari suatu keputusan, dan bukan dari kekacauan atau kebetulan. Alam semesta tidak timbul sebagai hasil kemahakuasaan yang sewenang-wenang, pertunjukan kekuasaan atau keinginan untuk menegaskan diri. Dunia tercipta dengan lebih agung dan termasuk dalam bagian tatanan kasih Allah atau kasih Sang Pencipta. Dengan demikian, manusia mesti sanggup dan mampu melihat nilai dan arti terdalam dari kisah penciptaan agar tidak mengeksloitasi bumi karena keserakahan melainkan berjuang untuk tetap menjaga keharmonisan bumi.             Kedua, ketidakmampuan manusia berteologi di tengah dunia yang kian kompleks. Hal ini terjadi akibat dari manusia hanya mementingkan keinginan atau keegoisan untuk bertindak menguasai segala isi bumi. Manusita bertindak bukan atas dasar sebuah refleksi teologis. Manusia hanya bertindak atas pemikiran yang benar (ortho-doxy) dan bukan atas dasar tindakan yang benar (ortho-praxy). Sesungguhnya ketika manusia mampu berteologi dengan benar, maka dengan pasti bahwa sikap dan tindakannya pun sesuai dengan refleksi teologis yang dihasilkannya. Dan menurut Stephan B. Bevans dalam buku Model-Model Teologi Kontekstual, model teologi yang baik untuk dipraktekan dalam hidup ialah model praksis. Manusia harus membuat refleksi teologis dengan bantuan metode historis-kritis yang ketat. Selain itu, refleksi teologis yang dibuat haruslah refleksi rasional agar sanggup menemukan makna terdalam dari sebuah tindakan. Dengan kata lain, model teologi praksis memberikan arahan agar manusia berteologi dengan melakukan aksi berdasarkan refleksi dan mengadakan refleksi berdasarkan tindakan yang telah dilakukan. 
            Dengan demikian, untuk menyadarkan manusia akan tindakan keserakahannya menjarah bumi sebagai ibu pertiwi, penulis menawarkan dua solusi sebagai tawaran perubahan sikap manusia. Pertama, refleksi atas tindakan praksis. Manusia mesti membuat suatu refleksi mendalam atas sikap atau tindakan hidup yang telah dilakukan. Tujuannya ialah agar manusia menemukan bahwa apakah sikap atau tindakan hidup yang dipraktekan sungguh sebuah “tindakan yang benar” (ortho-praxy). Contohnya, manusia menjarah bumi sehabis-habisnya dan mengakibatkan munculnya bencana alam seperti banjir, tanah longsor, gempa bumi atau bahkan kemiskinan. Ketika manusia melihat dan mengalami masalah yang timbul akibat dari kerakusan dan keserakahannya, manusia tidak hanya berusaha untuk mencari solusi melainkan harus merefleksikan tindakannya. Jika manusia sampai pada tindakan refleksi, otomatis sikap dan tindakan baru akan muncul untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan. 
            Kedua, gerakan perubahan. Ketika manusia menemukan praktik hidup yang benar, tuntutan utama yang mesti dibuat adalah gerak perubahan. Manusia tidak boleh tetap tunduk atau mempertahankan sikap dan tindakan hidup yang bobrok. Manusia harus secara perlahan-lahan mulai menata kembali keharmonisan dunia serta berusaha untuk berdialog secara baik tentang pemanfaatan dan perawatan bumi sebagai ibu pertiwi. Dengan berusaha menghidupi gerak perubahan, sudah pasti bahwa manusia akan menata masa depan bumi dan teristimewa menata masa depan generasi penerus. 

Sumber Buku: 
1. Samanta Gandolfi Branca, Alessandro Lo Monaco & AndreanGambetta, Pope Francis a Men of His Word. CTV-Centro Televisivo Vaticano, 2018.
2. Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab Deuterokanonika (Jakarta: Percetakan LBI, 2016). 
3. F. X. Adisusanto (ed.), Ensiklik Paus Fransiskus, Laudato Si’ Terpujilah Engkau (Jakarta: Depertemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2016). 
4. Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual (Maumere: Ledalero, 2002).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar