(Wilfridus Tali Talan) |
Dewasa ini realitas kehidupan manusia sungguh memprihatinkan. Di seluruh penjuru
dunia tercipta pelbagai masalah kehidupan yang mengancam kelangsungan hidup
manusia. Misalnya, terjadinya bencana alam: gempa bumi, banjir, dan badai. Atau
terjadinya peperangan, kelaparan, kekerasan, terorisme, ketidakadilan,
kemiskinan hingga tindakan pengrusakan bumi sebagai ibu pertiwi. Masalah-masalah
ini menyebabkan manusia kehilangan identitas di mana hubungan antara manusia
dengan sesamanya menjadi asing bahkan rasa persaudaraan hilang dan muncul sikap
saling bermusuhan.
Dari semua permasalahan yang muncul di atas pada era dewasa
ini, salah satu masalah pokok yang menurut hemat penulis sungguh mengganggu
kedamaian dunia adalah “keserakahan manusia untuk menjarah bumi sebagai ibu
pertiwi” dan hal ini dikritik pula oleh Paus Fransiskus dalam film “Pope
Francis: a Man of His Word”.
Dalam film “Pope Francis: a Man of His Word”, Paus
Fransiskus berpendapat dan sekaligus mengkritik bahwa situasi dunia saat ini
tidak aman. Muncul masalah petani tanpa sawah, banyak keluarga tanpa rumah,
banyak pekerja tanpa hak, banyak orang yang martabatnya diinjak, terjadi
ketimpangan ekonomi dan ketidaksetaraan serta kemiskinan. Semua permasalahan ini
muncul akibat dari keserakahan manusia menjarah bumi sebagai ibu pertiwi dan
manusia menyalahgunakannya. Mencermati kritik Paus Fransiskus tentang
keserakahan manusia menjarah bumi dan menyelahgunakannya, penulis pun
mengaminkan kebenaran dari pendapat dan kritik Paus Fransiskus tersebut. Penulis
menyadari bahwa segala permasalahan yang muncul dewasa ini teristimewa
permasalahan tentang ekploitasi alam ciptaan atau bumi terjadi karena kerakusan,
keserakahan manusia untuk menjarah segala isi bumi. Dari sebab pokok ini,
penulis akhirnya menyadari bahwa sesungguhnya ada dua sebab kunci yang ada dalam
diri manusia dewasa ini yang telah dilakukan sebagai sebuah pelanggaran besar.
Pertama, ketidakmampuan manusia membaca nilai dan arti Sang Pencipta menciptakan
bumi. Kalau melihat kisah penciptaan bumi dan segala isinya, sesungguhnya semua
tercipta dengan baik. Dalam Kejadian 1:31, tertulis dengan jelas “segala yang
diciptakan-Nya, sungguh amat baik.” Di sini dapat dilihat dengan jelas bahwa
Sang Pencipta mencipta dengan sempurna, namun manusia tidak sanggup membaca
nilai dan arti yang terkandung di dalamnya. Hanya karena adanya keserakahan
manusia untuk mengambil segala-galanya, nilai dan arti dilupakan. Alam ciptaan
dieksploitasi secara tak bertanggungjawab. Perlu diketahui bahwa dunia berasal
dari suatu keputusan, dan bukan dari kekacauan atau kebetulan. Alam semesta
tidak timbul sebagai hasil kemahakuasaan yang sewenang-wenang, pertunjukan
kekuasaan atau keinginan untuk menegaskan diri. Dunia tercipta dengan lebih
agung dan termasuk dalam bagian tatanan kasih Allah atau kasih Sang Pencipta.
Dengan demikian, manusia mesti sanggup dan mampu melihat nilai dan arti terdalam
dari kisah penciptaan agar tidak mengeksloitasi bumi karena keserakahan
melainkan berjuang untuk tetap menjaga keharmonisan bumi. Kedua, ketidakmampuan
manusia berteologi di tengah dunia yang kian kompleks. Hal ini terjadi akibat
dari manusia hanya mementingkan keinginan atau keegoisan untuk bertindak
menguasai segala isi bumi. Manusita bertindak bukan atas dasar sebuah refleksi
teologis. Manusia hanya bertindak atas pemikiran yang benar (ortho-doxy) dan
bukan atas dasar tindakan yang benar (ortho-praxy). Sesungguhnya ketika manusia
mampu berteologi dengan benar, maka dengan pasti bahwa sikap dan tindakannya pun
sesuai dengan refleksi teologis yang dihasilkannya. Dan menurut Stephan B.
Bevans dalam buku Model-Model Teologi Kontekstual, model teologi yang baik untuk
dipraktekan dalam hidup ialah model praksis. Manusia harus membuat refleksi
teologis dengan bantuan metode historis-kritis yang ketat. Selain itu, refleksi
teologis yang dibuat haruslah refleksi rasional agar sanggup menemukan makna
terdalam dari sebuah tindakan. Dengan kata lain, model teologi praksis
memberikan arahan agar manusia berteologi dengan melakukan aksi berdasarkan
refleksi dan mengadakan refleksi berdasarkan tindakan yang telah dilakukan.
Dengan demikian, untuk menyadarkan manusia akan tindakan keserakahannya menjarah
bumi sebagai ibu pertiwi, penulis menawarkan dua solusi sebagai tawaran
perubahan sikap manusia. Pertama, refleksi atas tindakan praksis. Manusia mesti
membuat suatu refleksi mendalam atas sikap atau tindakan hidup yang telah
dilakukan. Tujuannya ialah agar manusia menemukan bahwa apakah sikap atau
tindakan hidup yang dipraktekan sungguh sebuah “tindakan yang benar”
(ortho-praxy). Contohnya, manusia menjarah bumi sehabis-habisnya dan
mengakibatkan munculnya bencana alam seperti banjir, tanah longsor, gempa bumi
atau bahkan kemiskinan. Ketika manusia melihat dan mengalami masalah yang timbul
akibat dari kerakusan dan keserakahannya, manusia tidak hanya berusaha untuk
mencari solusi melainkan harus merefleksikan tindakannya. Jika manusia sampai
pada tindakan refleksi, otomatis sikap dan tindakan baru akan muncul untuk
mengatasi masalah yang ditimbulkan.
Kedua, gerakan perubahan. Ketika manusia
menemukan praktik hidup yang benar, tuntutan utama yang mesti dibuat adalah
gerak perubahan. Manusia tidak boleh tetap tunduk atau mempertahankan sikap dan
tindakan hidup yang bobrok. Manusia harus secara perlahan-lahan mulai menata
kembali keharmonisan dunia serta berusaha untuk berdialog secara baik tentang
pemanfaatan dan perawatan bumi sebagai ibu pertiwi. Dengan berusaha menghidupi
gerak perubahan, sudah pasti bahwa manusia akan menata masa depan bumi dan
teristimewa menata masa depan generasi penerus.
Sumber Buku:
1. Samanta Gandolfi
Branca, Alessandro Lo Monaco & AndreanGambetta, Pope Francis a Men of His Word.
CTV-Centro Televisivo Vaticano, 2018.
2. Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab
Deuterokanonika (Jakarta: Percetakan LBI, 2016).
3. F. X. Adisusanto (ed.),
Ensiklik Paus Fransiskus, Laudato Si’ Terpujilah Engkau (Jakarta: Depertemen
Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2016).
4. Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi
Kontekstual (Maumere: Ledalero, 2002).